Rabu, 08 Oktober 2008

Laskar Pelangi


Salah satu film Indonesia yang sangat menggugah batin, bisa dikatakan itu salah satu kalimat yang sangat cocok untuk menggambarkan film Laskar pelangi. Tidak bermaksud memuji bahkan melebih-lebihkan tapi di tengah gempuran film semacam Barbie, Cinlok, dan Chika, laskar pelangi cukup memuaskan dahagaku akan film-film yang berkualitas. Sebelum menonton LP, aku lebih dulu menonton Cinlok itupun karena ditraktir sepupuku. Cinlok adalah film yang pure komedi, bahkan aku tak sempat memikirkan pesan apa yang ingin disampaikan film ini, rata-rata orang yang menonton film Cinlok hanya penasaran bagaimana sih jika Luna maya dan seorang tukul berciuman. Yang kedua adalah film Chika, itu hanyalah sebuah pengulangan dari Eifell I’m in Love dan Apa Artinya Cinta.

Kembali ke LP aku dan teman-temanku yang hampir berjumlah 80 orang pergi ke primere LP, jangan ditanya bagaimana antrinya orang yang ingin menonton LP, walaupun orang belum tahu kualitas film ini tapi salah satu faktor yang membuat ramai adalah layaknya Ayat-Ayat Cinta, karena novel kedunya menjadi Best Seller di pasaran bahkan menjadi fenomena tersendiri.

Pertama melihat adegan awal film ini saya sangat suka dengan pemilihan castnya apalagi anggota Laskar Pelangi, mereka sesuai dengan gambaran saya di novel, begitupun dengan suasana Belitong tempo dulu yang diciptakan begitu natural. Saya paling suka dengan pemilihan lokasi dari rumah lintang ke SD Muhammadiyah sesuai dengan gambaran novel bagaimana susahnya seorang Lintang untuk sampai ke sekolah apalagi dihalangi seekor buaya. Yang paling sesuai dengan gambaran novelnya adalah toko kelontong milik ayah A ling, itu ada tempat yang sangat tidak kelihatan dibuat-buat.

Cerita LP juga sangat kuat di skenarionya, tak ada kata-kata mubazir dari tiap tokoh yang berbicara dan penonton tak bosan menyimaknya. Satya juga sangat mengerti sangat sulit untuk menyamakan novel dengan film, punya cara berbeda untuk menikmati keduanya sebut salah seorang penggemar film di salah satu majalah film ternama Indonesia, jadi menurutku penonton tak usah banyak mengeluh jika banyak tak sesuai dengan di dalam novel. Novel adalah kumpulan dari sebuah kertas yang tiap paragrafnya sangat mendeskripsikan apa yang ingin disampaiakan karena disini yang diperlukan bukan visual tapi bagaimana imajinasi kita. Sedangkan film adalah susunan skenario dan perpaduan visual jadi sudah cukup jelas perbedaannya.

Mungkin Riri riza punya alasan tersendiri untuk menambahkan cerita bahwa Tora Sudiro naksir pada Ibu Mus, dan mengubah sedikit cerita dalam acara cerdas cermat dimana seharusnya lintang berlawanan pendapat dengan Tora Sudiro.

Mengenai aritsitiknya, saya sangat salut sang sutradra memeperhatikan sedetail mungkin dekorasinya, misalnya saja tentang muk klasik di atas meja Ikal, gorden tempo dulu, setrika, poster-poster lusuh, sangat natural. Dan salut juga pada angel kamera yang bermacam-macam dan tidak biasa sehingga dapat mengeksplorasi keindahan Belitong.

Ada dua hal yang janggal yang aku dan teman lihat dan coba kami diskusikan yaitu adegan dimana ikal menulis di atas meja saat kamera jauh terlihat ikal memakai tangan kiri dan saat kamera hanya menangkapa ikal, dia sudah memakai tangan kanan kembali. Yang kedua adalah saat mereka membuka mantra dari sang dukun saat di shot dekat terlihat Mahar memegang dengan kedua tangan kertas tersebut tapi saat di shot jauh para anggota lasKar pelangi ikut memegang kertas itu, emtahlah atau hanya saya yang salah persepsi.

Lepas daripada semua hal yang saya tulis di atas Riri Riza adalah salah satu sutradara terbaik Indonesia dan Laskar Pelangi salah satu film terbaik Indonesia yang pernah saya nonton setelah Petualangan Sherina dan Catatan Akhir Sekolah. Saya berharap dengan suksesnya Laskar pelangi sang sutradara maupun produser tidak buru-buru untuk segera membuat sekuelnya dan malah kualitasnya jadi menurun karena pasti para penononton akan membandingkannya. Oh iya salut juga sama aransemen musiknya yang cukup pas di tiap adegan.